LELAHNYA SERTIFIKASI APOTEKER
Diupload Oleh: Administrator
Ditulis Oleh: apt. Wisnu Cahyo Prabowo, S.Farm, M.Si
29 April 2021 , 11:13 siang
Semua orang percaya jika bekal ilmu di perguruan tinggi
dan pengalaman kerja sangat memiliki peran terhadap profesionalitas kerja
seseorang. Apa jadinya jika apoteker tidak memiliki kompetensi profesinya, saat
harus memilihkan obat, memberikan informasi obat, membaca resep dokter. Bahaya,
beresiko membahayakan pasien.
Pada tahun 2014, komite farmasi nasional (KFN) menelurkan
sebuah pedoman sertifikasi dan re-sertifikasi. Seorang Apoteker harus melakukan
tahapan yang disebut Sertifikasi yang dilakukan secara sistematis bagi
freshgraduate lulusan apoteker yang akan dihadapkan dunia kerja.Untuk memenuhi
standart profesi, maka Organisasi Profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mentapkan
suatu Standar Kompetensi Apoteker Indonesia (SKAI). Demi menjamin kualitas berkelanjutan
apoteker dalam menjalankan praktiknya, perlu adanya Perbaruan atas Sertifikat
Kompetensi yang telah habis masa berlakunya. Program kegiatan yang dilakukan
melalui uji ulang kompetensi yang disebut Re-Sertifikasi.
Re-Sertifikasi inilah yang menjamin Program Pengembangan
Pendidikan Apoteker Berkelanjutan (P2AB). Mekanisme pembobotan Satuan Kredit
Partisipasi atau yang kita kenal dengan kegitan ber-SKP, meliputi praktik,
pembelajaran, pengabdian, pengembangan ilmu dan publikasi ilmiah.
Haruskah apoteker mengumpulkan SKP??
Disatu sisi banyak keluhan bahwa kegiatan ber-SKP menyita
waktu, biaya dan melelahkan. Beratnya pekerjaan dan tanggung jawab kerja,
banyak menjadi alasan utama. Harus ingat bahwa Apoteker memang life-long learner. Siap sedia menghadapi
perubahan zaman dan teknologi untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang
terbaik. Disisi lain, perolehan SKP menunjang untuk mencukupi persyaratan dalam Re-Sertifikasi kinerja kompetensi yang
pelaksanaan dalam kurun waktu 5 tahun. SKP
kurang tidak bisa memperpanjang serkom, tidak bisa memiliki IZIN Praktik, tidak
ada penghasilan. Sejalan dengan itu Surat Tanda Registrasi yang diterbitkan
oleh KFN mempersyaratkan Sertifikat kompetensi yang masih berlaku. Semua itu
merupakan upaya yang dilakukan IAI dan lembaga Kefarmasian lainnya merupakan
suatu upaya pendorong untuk menjamin bahwa Apoteker tetap layak menjalankan praktik
kefarmasian sesuai ketentuan Kompetensi etika profesi.
Apa boleh buat, Mau-tidak mau, terpaksa harus suka. Terus
menjalankan kegiatan ber SKP secara berkelanjutan, supaya bisa berpraktik dan
hidup berpenghasilan. Sisihkan dana, waktu dan kumpulkan sertifikat
teratur dan laporkan dengan rutin.
Kenyataannya?
Masih banyak yang mengindahkan kegiatan berkelanjutan berniai SKP tersebut,
yang memaksa untuk mengikuti Uji Kompetensi Apoteker Indonesia baik Computer
Based Test (CBT) dan Objective Structure
Clinical Examination (OSCE). Yang memaksa menghentikan pendapatan untuk
sementara dan menambah biaya pengeluaran yang cukup besar. Bukankah di
perkuliahan seorang calon apoteker di ajarkan
sebagai decision-maker, yang mengambil keputusan dengan tepat dan dengan
penuh pertimbangan.
Bagaimana
menurut kalian sejawat apoteker.
Samarinda,
28 April 2021
Admin
SIAP IAI PC Samarinda
Dosen Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman